Seluas-luasnya hati

Di balik hati yang bersyukur, selalu ada puas yang tak terukur. Mungkin benar, bagi mereka yang merasa tak pernah kurang ialah yang paham bahwa hidup tak seharusnya dijadikan perbandingan. Menghitung-hitung nikmat orang lain, sampai-sampai lupa untuk menghitung nikmat atas diri sendiri.

Jadilah kuat, yang dengan kuatmu itu Allah mempercayakan sesuatu yang luar biasa untuk berada di pundakmu. Benar katanya,  "Pembelajaran tak hanya berhenti sampai hari ini saja. Besok dan seterusnya, masih akan ada banyak pelajaran yang bisa jadi lebih luar biasa dari ini, sabarnya."
Dari sebuah perjuangan yang optimal, selanjutnya kita masih akan tetap menemukan perjuangan yang lebih maksimal, sesuatu yang lebih dari hari ini.

Mungkin kita bisa bersikap 'bodo amat' dan tak peduli. Tapi bukankah, ternyata jawaban dari setiap pencarian kita ada pada orang-orang yang membutuhkan kehadiran kita, banyak sekali. Kita sering menganggap bisa mencari jawaban sendiri. Merasa bahwa tujuan kita bukan urusan orang lain dan sebaliknya.

Namun, mungkin kita perlu membuka seluas-luasnya pikiran. Bahwa Allah, sering menitipkan pertolongannya pada orang-orang yang perlu kita bantu, pada orang-orang seiman yang dikata saudara. Mungkin juga, kita baiknya merendahkan hati, untuk merasa lemah selemah-lemahnya di hadapan Allah. Laa haula wa la quwwata illa billah. 'Bahagia' hari ini, mungkin tak akan pernah kita dapatkan jika tanpa kening orang lain yang bersujud khusyu',
"Ya Robb, hadirkan ketenangan dan kedamaian dalam hati-hati kami dengan iman yang lurus, iman islam. Ikat hati kami dengan ukhuwah yang lurus, ukhuwah yang Kau ridha atas semua yang kami lalui."

Benar katanya, mungkin kadang kita harus berhenti memaklumi, kemudian menguatkan hati untuk belajar bertanya atau mengakui. Kita baiknya sadar, bahwa iman seseorang belumlah sempurna, jika ia belum mencintai saudaranya selayaknya ia mencintai dirinya sendiri.
Mulai menyadari perasaan kita sendiri. Self Love bukan berarti kita memanjakan diri pada zona nyaman yang kita miliki. Tapi mengijinkan perasaan kita untuk belajar lebih banyak dari saat ini. Memberikan kesempatan pada diri tentang ketentraman yang mungkin, bisa kita dapatkan dengan saling peduli.

Dan untuk memilih kepada siapa kita mengaku, dari siapa kita mendengar, bukankah pembelajaran kadang datang dari lisan yang tak pernah kita duga?  Bukankah kesejukan kadang datang dari senyum yang entah siapa seseorang yang kita tatap?

Kita bisa belajar bahwa menganggap ini kebetulan bukanlah sesuatu yang baik. Bukankah setiap detik kehidupan ada garis takdir yang telah diatur sedemikian apiknya?
Mungkin sebenarnya bukan kita yang memilih, tapi Allah yang menentukannya. Dari setiap perbincangan, Allah menitipkan hikmah yang sebagai manusia biasa kita perlu mencari-cari. Atau mungkin, kita perlu mengosongkan apa yang telah kita miliki untuk dapat menerimanya.

Aku pernah mendengar seseorang berkata begini.
"Jika kamu sedang mendengarkan seseorang berbicara kepadamu. Ibaratnya kamu sedang membawa gelas yang sebelumnya telah kamu isi dengan air, lalu kosongkan gelas itu terlebih dahulu untuk menerima air berikutnya."

Sebentar, tarik napas dulu, pejamkan mata, hembuskan.

Atas segala kesah dan gundah. Atas canda terselip tak sengaja lantas tawa menyimpan luka. Atas rasa enggan yang dipaksa menjadi nyaman. Kamu boleh meluapkannya sekarang, menangis tak apa jika itu membuat lega. Sepertinya hari ini ada yang menahan untuk mengeluarkan isaknya.

Berteriak tak apa jika itu membuatnya menjadi ringan. Kamu boleh mengadu, jika malu, pada Allah saja, tak perlu seorang pun tahu. Jika kamu butuh didengarkan, kamu boleh menceritakannya pada siapa yang kamu percaya.

Jauh hari sebelum hari ini, semuanya adalah proses untuk menuju titik dari inti kehidupan.
Untukmu, dan untuk kita yang mungkin mencari tujuan, kita menemukannya hari ini, kan?

Hidup bukan suatu pencapaian, tapi pembelajaran dan juga perjalanan. Untuk mencapai kebahagiaan yang sebenarnya. Fi dunya wal akhiroh.

Sebenarnya, yang mungkin tak pernah lupa kita ucap dalam dua telapak tangan yang kita angkat.
"Robbana aatina fi dunya khasanah, wa fil akhiroti khasanatawaqina 'adzaabannar."

Bukankah ini tujuan kita?
Bahagia di dunia dan akhirat, dan terhindar dari segala pedihnya adzab. Menurutku, ini adalah tujuan paling tinggi dari segala macam wish list yang tersusun pada kertas yang ku tempel di dinding kamar.

Terima kasih sudah mengajakku mencari bahagia, semoga kita mencapai puncaknya di akhirat kelak.
Kamu hebat hari ini.
Ternyata pegang kamera pegal juga ya, di lengan dan di jari.
Apalagi yang pegang kendali, lebih 'pegal' kali ya, di hati.



          - Musim hujan kali ini, aku sudah pernah kehujanan.

Komentar