Open Minded (part 1)

Tulisanku memiliki dunianya sendiri.
Kalau kamu tidak menyukainya, barangkali frekuensi kita berbeda.
Aku tak berupaya membuat semua orang menyukai tulisanku, aku membiarkan jemariku merangkai kata begitu saja, menikmatinya, tanpa harus menjadi yang orang lain inginkan.
"Aku suka bahasamu. Pas ketika bibirku membaca, dan pas ketika telingaku mendengarnya."
Ya, terima kasih. Bagi orang-orang yang sefrekuensi, barangkali buku yang kita baca sama. Jadi bisa nyambung begitu saja.

"Kenapa seperti itu, nggak sesuai."
Ya, tidak mengapa. Aku bukan pemberi solusi dari tiap yang orang tanyakan. Aku berusaha menemani mereka mencari jawaban. Melalui puisi-puisiku yang kau sebut abu-abu. Melalui kisah-kisah yang kau sebut hiperbola. Barangkali apa yang kusimpan ibarat remahan rengginang, bagi kamu yang tak pernah menyentuh gorengan.

Entah bagaimana, kali ini perbedaan menjadi jarak. Tak seperti biasanya.

Bagi beberapa orang ini bisa jadi obat. Dari kegelisahan, dan ketidaknyamanan yang bisa saja mengancam sehatnya. Ada yang sedang berupaya untuk selesai dari semua urusan luka. Ada yang sedang berupaya tumbuh, bersamaan dengan sakit yang harus segera sembuh. Melalui yang ia baca, melalui yang ia tulisknan.

Beberapa hati juga tidak bisa selamanya memaklumi. Memang, mungkin ada yang masih bisa mengendalikan apa yang disembunyikan. Tapi tak selamanya kamu bisa menyamaratakan. Masing-masing memiliki frekuensi yang tak sama.

Misal saja, beberapa orang mungkin menggandrungi karya-karya Tere Liye yang penuh imajinasi, atau karya Habiburrahman El Shirazy yang magis nilai religiusnya. Namun beberapa orang lebih memilih karya Jostein Gaarder yang filosofis dan fantasi. Beberapa orang lagi menyukai karya-karya fan fiction yang tak berat di pikiran.

It's OK. Sebuah buku fiksi bukan berarti tak memberi pelajaran kepada kita. Bisa jadi nilai-nilai kehidupan lebih banyak dijabarkan melalui kisah-kisahnya dibanding karya-karya ilmiah yang hanya berguna di balik meja saja. Begitupun buku non fiksi, bukan berarti tak ada nilai kehidupan juga di dalamnya. Melalui kalimat-kalimat teoritisnya, bisa jadi kita mendapatkan lebih banyak untuk berbagi dengan orang lain.

Jadi, kita tidak bisa menilai semuanya dengan standar yang kita tentukan. Standar hidupmu sudah pasti berbeda dengan prinsip yang kupegang. Sebegitu pentingnya jika kita mau menilai semuanya dari banyak sudut pandang. Tak ada yang terjadi tanpa alasan. Dan untuk kamu, terima kasih telah bersedia membaca. Barangkali juga memiliki alasan.

"Kita tak perlu menyamakan minat. Kita hanya perlu memperluas sudut pandang."



         - Aku suka Durian, kamu lebih suka Petai. Tak perlu kuselipkan penghubung 'tapi' di antaranya.

Komentar