Perasaan, bukan Percobaan
Membicarakan perasaan memang menarik. Aneh, padahal ini sesuatu yang abstrak dan sulit dijabarkan. Sayangnya, ini selalu berperan sebagai magnet untuk menarik siapapun untuk mendekat. Jika seperti ini, alarm siaga seolah otomatis diaktifkan di kepala.
Ibuku pernah bilang. Jaga pergaulan, supaya tetap lurus. Jaga hati, jangan mudah mengumbar, ia harus dikendalikan. Jaga diri sama laki-laki, berhenti bercanda, nanti kebablasan, Ibu nggak suka.
Semalam aku mendapat pelajaran banyak hal dari beberapa potong cerita yang kudengarkan. Bahwasanya, kita harus benar-benar menjaga. Setan itu musuh. Musuh paling lembut, sekaligus paling kejam. Setan itu menggoda dengan cara yang paling lembut, yang kita tak menyadarinya. Hingga cara yang terlihat jelas, tapi kita menganggap aman-aman saja.
"Ingat terus kata-kata Ibu." Dialog dengan Ibu terngiang lagi. Bahwa semua yang terjadi bukan sekadar percobaan yang bisa diulang. Apalagi urusan hati, tak bisa direvisi.
Mungkin awalnya hanya saling sapa. Berinteraksi untuk kerja sama. Lama-lama bercanda. Eh tiba-tiba ada rasa. Lalu setan semakin gesit menggoda.
"Jangan, nggak usah main-main. Seperlunya saja." Suara Ibu seperti isyarat, menegur lagi.
"Gak salah kok, suka gapapa. Tapi jangan diumbar. Meneng wae."
Ibu menepuk bahuku lembut.
"Tapi Bu, aku sedang tak suka sama siapa-siapa. Kan, aku gak gampang suka sama orang, Bu."
"Makanya itu, perhatiin ih kalo Ibu ngomong."
"Iya Bu, iya."
"Apa?"
"Yang mana Bu?" Candaku setelah menelan nasi di mulut.
"Tuh kan, kalo dibilangin." Ibu menautkan alisnya yang tipis. Aku nyengir.
"Jangan banyak bercanda, ntar suka." Apa iya? Rasa suka bisa sesederhana itu hadirnya?
"Terus kalo suka gimana Bu?" Membagi pandanganku, antara nasi di piring, dan mata Ibu.
"Tadi Ibu bilang apa?" Ibuku bukan orang yang akan mengulangi perkataannya.
"Hehe, kalo komitmen boleh nggak Bu?"
"Komitmen itu ya, menikah." Ibu membuka toples, mengambil bawang goreng sejumput jari kemudian menaburkan di sup, di panci. Ayahku menyukai sup dan segala jenis sayur berkuah.
"Oh. Jadi nggak boleh?"
"Emangnya ada?"
"Enggak, hehe. Emang maunya Ibu ada?"
"Nggak. Belajar dulu yang bener." Tegas Ibu sambil menutup toples. Aku melanjutkan makan siang.
Mungkin yang penting bukan masalah statusmu sebagai apa atau siapa. Tapi bagaimana cara berinteraksi dengan seseorang yang bisa saja kamu menganggap sesiapa.
- Dingin, AC nya.
Ibuku pernah bilang. Jaga pergaulan, supaya tetap lurus. Jaga hati, jangan mudah mengumbar, ia harus dikendalikan. Jaga diri sama laki-laki, berhenti bercanda, nanti kebablasan, Ibu nggak suka.
Semalam aku mendapat pelajaran banyak hal dari beberapa potong cerita yang kudengarkan. Bahwasanya, kita harus benar-benar menjaga. Setan itu musuh. Musuh paling lembut, sekaligus paling kejam. Setan itu menggoda dengan cara yang paling lembut, yang kita tak menyadarinya. Hingga cara yang terlihat jelas, tapi kita menganggap aman-aman saja.
"Ingat terus kata-kata Ibu." Dialog dengan Ibu terngiang lagi. Bahwa semua yang terjadi bukan sekadar percobaan yang bisa diulang. Apalagi urusan hati, tak bisa direvisi.
Mungkin awalnya hanya saling sapa. Berinteraksi untuk kerja sama. Lama-lama bercanda. Eh tiba-tiba ada rasa. Lalu setan semakin gesit menggoda.
"Jangan, nggak usah main-main. Seperlunya saja." Suara Ibu seperti isyarat, menegur lagi.
"Gak salah kok, suka gapapa. Tapi jangan diumbar. Meneng wae."
Ibu menepuk bahuku lembut.
"Tapi Bu, aku sedang tak suka sama siapa-siapa. Kan, aku gak gampang suka sama orang, Bu."
"Makanya itu, perhatiin ih kalo Ibu ngomong."
"Iya Bu, iya."
"Apa?"
"Yang mana Bu?" Candaku setelah menelan nasi di mulut.
"Tuh kan, kalo dibilangin." Ibu menautkan alisnya yang tipis. Aku nyengir.
"Jangan banyak bercanda, ntar suka." Apa iya? Rasa suka bisa sesederhana itu hadirnya?
"Terus kalo suka gimana Bu?" Membagi pandanganku, antara nasi di piring, dan mata Ibu.
"Tadi Ibu bilang apa?" Ibuku bukan orang yang akan mengulangi perkataannya.
"Hehe, kalo komitmen boleh nggak Bu?"
"Komitmen itu ya, menikah." Ibu membuka toples, mengambil bawang goreng sejumput jari kemudian menaburkan di sup, di panci. Ayahku menyukai sup dan segala jenis sayur berkuah.
"Oh. Jadi nggak boleh?"
"Emangnya ada?"
"Enggak, hehe. Emang maunya Ibu ada?"
"Nggak. Belajar dulu yang bener." Tegas Ibu sambil menutup toples. Aku melanjutkan makan siang.
Mungkin yang penting bukan masalah statusmu sebagai apa atau siapa. Tapi bagaimana cara berinteraksi dengan seseorang yang bisa saja kamu menganggap sesiapa.
- Dingin, AC nya.
Pengen cerita nih, tentang perasaan.
BalasHapusBoleh kak, ditunggu ceritanya di email ya.. :)
Hapus