Ekspektasi yang Menyesatkan
Aku sudah kenyang dengan
penghianatan, dan suasana sore ini mendukung untuk merayakan patah hati bersama
dingin hujan yang mengginggil. Sebut saja dia adalah seorang laki-laki yang
kupercayai akan menjaga hatiku tetap hangat meskipun musim dingin menghantamku.
Kisah ini bermula dari gadis tidak berpengalaman soal kebohongan dan aneka
ragam sumber sakit hati. Setelah sekian waktu beranjak menuju dewasa, gadis ini
– yang kusebut dengan diriku – mulai mempercayakan harapan-harapan sederhana
kepada laki-laki. Iya, gadis tidak berpengetahuan dan berpengalaman soal
laki-laki itu aku.
Mempercayai laki-laki
terlalu dini adalah patah hati terburuk sepanjang hidup menuju seperempat
abad-ku. Setiap hari aku berusaha mengembalikan caraku berdiri dengan kepala
tegak, tapi setiap hari dia tidak kehabisan cara untuk membuatku kembali
tersungkur bersama lebam perasaan yang tiada henti. Berkali-kali mantranya
berhasil memenjaraku dalam gulita kesepian.
Beberapa kali aku meyakinkan
diri bahwa masih bisa bertahan seperti yang sudah-sudah. Padahal sebenarnya,
pura-pura kuat saat dada rasanya seperti dihantam petir adalah cara mencabik
diri sendiri yang paling menyakitkan – paling sering dilakukan. Mungkin benar,
selama ini aku hanya dimanjakan oleh ekspektasi yang sebentar lagi akan dipaksa
bertekuuk lutut dengan kenyataan. Kadang beberapa hal menyakitkan memang lebih
mudah ditertawakan daripada ditangisi. Kita terlalu menuntut kesempurnaan di
dunia yang serba tak tertebak dan tak pernah menjadi sempurna, hidup tak pernah
menjadi sesempurna apa yang ada dalam ekpektasi kita. Dongeng yang pernah kita
dengar itu, hanyalah sebuah pelengkap dari segala permainan dunia, pelengkap
sebelum kita terlelap dengan mimpi buruk menghadapi esok hari, tentu saja
dengan masih rajin membangun ekspektasi. Cinderella
masih memiliki kisah menyedihkan yang tak pernah kita sangka, dan tak pernah
diceritakan dalam buku dongeng sebelum tidur, percayalah.
Seberapa tinggi dan
menakjubkan pun ekspektasi yang kita bangun, pada akhirnya kita hanya bisa
tunduk pada realita – pada takdir. Sama halnya dengan harapan yang terlanjur
aku tanam dengan dalih kepercayaan pada laki-laki itu. Lagi-lagi dia
menghancurkan keberanian yang aku jaga sambil tertatih. Aku memang tidak mudah
mempercayai seseorang, maaf, tidak bermaksud apa-apa. Kewaspadaan itu sudah aku
bangun sejak dulu, akan aku beritahu alasannya saat seseorang bisa membuatku
merasa aman untuk meletakkan kepercayaan kembali. Aku tidak mempercayai
laki-laki – tidak untuk sekarang. Aku juga bukan orang yang mudah berekspektasi
sebenarnya, tapi kepada dia, entahlah aku tidak menemukan jawaban. Aku tidak
jatuh cinta – tidak untuk sekarang – kecuali dengan mencintai diriku sendiri. Siapa
lagi yang bisa mencintai diri sendiri dengan sebegitu besarnya selain aku? 24/7
yang bersedia menolong kita selain Tuhan, ya hanya kita sendiri.
Terkadang, kita jatuh cinta
hanya karena sebaris janji tapi dengan berlembar-lembar ekspektasi yang kita
bangun sudah sangat cukup untuk mengatakan cinta. Sebentar, aku hanya ingin
menertawakan diri sendiri, aku hanya ingin menertawakan lukaku sebelum
ditertawakan orang lain. Aku pun pernah mengalaminya, menjadi buta hanya karena
janji, hanya karena satu sikap manis. Padahal kata orang, jatuh cinta hanyalah a little part of a true love, “lalu kamu
sudah cinta mati? Jangan jadi bodoh!” Sudah selayaknya kita memahami perasaan
cinta dengan pikiran orang dewasa, jatuh cinta dan menyukai dengan cara orang
dewasa yang sesungguhnya. Jangan hanya pikiran kita menua dalam tempurung
kepala. Akhir-akhir ini sering sekali mendengar beberapa orang melarikan diri
dari permasalahan hidup dengan jatuh cinta. Sederhananya begini, “capek kerja,
mau nikah saja. Stress kuliah, tolong lamar aku saja.” (Padahal kalau aku, capek kuliah, ya mending berharap dapat uang
banyak, bisa berlibur, bukan menikah. Menyenangkan diri sendiri dulu. Lagipula,
kata siapa, sih bahwa menikah itu dapat terhindar dari masalah? Bukankah saat
kita memulai urusan baru artinya kita sedang mempersilahkan masalah untuk masuk
di hidup kita? Bedanya ada pasangan dan tidak. Tapi itu masalah masing-masing. Jika
kita belum dapat ‘to deal with myself’atas segala urusan pribadi, bagaimana
kita dapat berdamai dengan perasaan orang lain... apalagi kepercayaan. Satu lagi,
kita juga wajib berdamai dengan segala ekspektasi yang terlanjur diluluhlantakkan
keadaan).
Aku tidak punya hak untuk
mencampuri keputusan dan pilihan orang lain dengan masalahku sendiri, dengan
pendapatku. Dan tentu saja, pencapaian dan target orang lain adalah bukan tolak
ukur dari rencana pencapaian yang akan aku tulis. Semoga setelah ini, diri bisa
belajar untuk semakin mahir mengelola hati, semakin ramah membangun jalan
pikiran yang bisa menjadi penerang untuk diri sendiri, dan tidak lagi tersesat
karena ekspektasi – apalagi terhadap seseorang.
Ketika kamu bosan mencintai diri sendiri, maka kamu harus menemukan cara
lain agar tetap mencintai diri sendiri.
- -- Cerita
pengakuan ini terinspirasi dari beberapa cerita teman duduk, dan rekaman
konseling.
Komentar
Posting Komentar