Pengakuan


Aku bukan orang yang mudah untuk bercerita kepada orang lain, siapapun itu, termasuk orang terdekatku. Mungkin Tuhan yang menunjukkan, teman yang sering bersama akan lebih mudah memahami kondisi kita, walau tak tahu permasalahannya. Tidak mendesak untuk meminta penjelasan, walau resah saking penasaran. Dalam kondisi seperti ini kebanyakan orang – termasuk aku – mungkin hanya butuh waktu untuk berpikir, hanya butuh jeda untuk menyingkir, dari hiruk pikuk kehidupan manusia, dari rancangan-rancangan permasalahan yang harus dipecahkan. Yang entah kapan berakhir. Orang-orang sepertiku juga memiliki kapasitas, sampai mana mampu menyimpan. Jangan khawatir, ia tak dapat memendam sendirian, cepat atau lambat, pasti akan membutuhkan untuk didengarkan. Kalaupun nanti bukan kamu yang menjadi sang pendengar, artinya, ia telah memilih tempat lain untuk pengakuan. Tidak perlu cemburu, jika dia teman baikmu, dia tahu, kisah mana yang harus pundakmu untuk bersandar. Karena dia mengenalmu.

Begitupun aku. Aku berusaha mengenalmu, melalui banyak hal. Mungkin, saat kita bercengkerama hal-hal yang tak perlu, bercanda sampai tawa terpingkal-pingkal, saat kamu kepedasan mungkin, atau…sebuah perjalanan yang melibatkan aku dan kamu. Ah, atau saat kita sedang miskin-miskinnya di akhir tanggal dalam satu bulan, lalu saling memeluk untuk menghibur kegalauan.

“Uangku tinggal segini, masih ada tujuh hari sebelum tanggal dua,” Lalu raut kebingungan meraup wajah kita. Ada tawa, ada juga air mata. Seperti hubungan pada umumnya, persahabatan juga ada akur dan udur . Namun itu tidak membuat kita jauh ataupun renggang, justru semakin dekat lalu saling menggenggam. Begitulah caraku mengenalmu, tak perlu kau sebut satu persatu, tapi secara  langsung kau tunjukkan padaku. Barangkali sama caramu mengenalku, aku tak tahu. Dan tidak ingin memastikan. Kamu mengenalku dengan benar, itu sudah cukup buatku. Kamu memahamiku tanpa kuminta, itu sudah lebih bagiku.

Terima kasih, teruntuk sahabat, teman, atau yang telah berperan sebagai kakak selama kurang lebih dua dekade ini. Telah mengajariku banyak hal tentang ketulusan, arti pengertian, juga…tentang kehilangan. Tentang aku yang sebelumnya jarang bercanda, hingga sekarang tidak takut apa-apa, kecuali ulat bulu. Ah itu, bagaimana aku bisa menerima rasa takutku, lalu bisa berdamai dengan ulat bulu. Aih, menuliskannya saja bulu kudukku sudah berdiri. Sebenarnya ulat bulu tak punya salah apa-apa. Akh, aku tak bisa melanjutkannya, tentang hewan yang satu ini. Tubuhku bereaksi berlebihan, daripada tak kulanjutkan ‘pengakuan’, lebih baik kita hentikan, tentang ulat bulu.

Kubilang tadi, aku tak bisa bercerita, tapi ketika menulis mengalir begitu saja. Sudah kubilang kemarin, aku tak bisa berbohong saat sedang merangkai kata, walau sering terlalu hiperbola, aku tak bisa bersembunyi dari kata-kata. Aku selalu jujur tentang perasaan dan pikiranku saat memainkan kata-kata. Walau sebagian besar bukan kisahku, tapi aku merangkainya tak hanya dengan jari, tapi dengan hati yang gemati.

Selamat malam, untuk hati yang kadang terlalu baik sekali, beristirahatlah. Besok, ujian menanti.  Mengaku sekali, lusa kadang terulang lagi. Selamat membaca pengakuanku yang berikutnya.

-          21.51, Januari  dingin sekali.


Komentar