Masih Mungkin
.
.
.
.
.................................................................
.................................................................
Mungkin,
beberapa orang selalu mengatakan bahwa kunci dari segala bentuk berdamai adalah
penerimaan. Begitupun aku, aku sering mengatakannya. Pada diriku sendiri, atau
menghibur temanku. Berdamai saja. Berdamai saja. Terima saja, terima. Dua kalimat
itu seolah terus mengikuti kemanapun aku melangkah. Bergema di kepala entah
dimanapun aku menutup mata dan telinga.
Aku
sudah nggak mau membohongi diriku sendiri. Sepertinya semua orang juga belum
beralih dari traumanya. Trauma tentang kehilangan, dihianati, dibohongi atau
ditinggalkan diam-diam. Semua sedang berpura-pura untuk merelakan. Bagiku, ini
bukan suatu hal yang harus dilepaskan, aku ingin memeluknya lagi. Sepertinya
semua sedang berjuang keras untuk melupakan. Bagiku ini bukan sesuatu yang
harus disingkirkan dari ingatan, tapi ini bagian dari semua ingatanku. Semua
orang sedang menahan dirinya untuk tidak bertanya, untuk tidak mencari.
Sepertinya, apa hanya aku yang tidak berusaha lari? Hanya saja aku masih
bersembunyi. Aku sebenarnya tidak benci, hanya takut jika harus membuka diri.
“Dia,
masih menghubungimu?” tanya Ibuku suatu kali ketika kami menyelesaikan makan
siang berdua di rumah.
“Enggak
Bu.” Jawabku. Kupikir, Ibu juga sudah lelah memanipulasi situasi seolah tiada
apa-apa.
“Media
sosialnya, masih aktif?” tanya ibu lagi dengan hati-hati sambil menatapku.
“Sudah
enggak Bu. Sekarang Yash sudah nggak tahu.” Aku memang sungguh tidak tahu.
Sejak hampir tiga tahun yang lalu, semua batas serasa terkunci untuk sekadar
menyapa.
Hanya
sebatas itu. Semua orang masih terlalu cemas untuk membicarakan lebih jauh. Oma
juga. Seperti sore itu, di musim kemarau yang sedang kering-keringnya. Di
halaman belakang saat aku memijit bahunya.
“Dia
pernah meneleponmu setelah kejadian itu?” Tanya Oma sembari memutar cangkir di
tangannya. Pijatanku mengendur di pundaknya.
“Enggak
Oma, Yash sudah ndak punya nomor
teleponnya.” Oma ber’oh’ pelan sambil mengangguk patah-patah. Aku tahu, Oma
merindukannya, aku merasakannya. Tapi sayang, Oma juga sedang bersembunyi dari
rasa rindunya, pura-pura menanam benci. Padahal Oma, aku tak semudah itu
dibohongi dengan senyum.
“Oma
merindukannya?” Tanyaku pelan dari balik punggungnya yang renta. Oma menggeleng
pelan.
“Untuk
apa merindukannya? Siapa Oma, Oma bukan lagi siapa-siapa.” Ya, sesakit itu
rasanya. Ditinggalkan secara diam-diam, dibohongi di antara canda.
Tiga
tahun, tiga tahun bukan waktu tiga hari. Terlalu lama untuk tak saling tatap
muka. Teramat lama untuk tak saling sapa bertanya kabar. Kamu dimana? Ada, aku yakin kamu ada, di tempat
semula biasanya kita berbagi cerita. Tapi
kamu tidak ada. Aku yakin kamu rindu sepertiku. Aku mengenalmu, kamu tak
semudah itu melupakan apalagi menyingkirkan rasa sayang. Aku mengenalmu, sangat
mengenalmu. Empat tahun – sebelum kamu benar-benar hilang – aku memang yang paling dekat denganmu di antara yang
lainnya. Jika seseorang ingin tahu keadaanmu atau hanya sekadar ingin tahu bagaimana
kabarmu, mereka bertanya padaku lebih dulu. Jika seseorang ingin menemuimu,
mereka bertanya padaku. Aku pernah sedekat itu denganmu.
Aku
masih sulit untuk mengerti sebab dari perpisahan ini. Aku tak ingin menyalahkanmu.
Untuk apa? Rasa sayang juga tak mungkin kuhapus begitu saja. Untuk apa? Rindu juga
tak bisa kuberi jeda. Untuk apa aku menyalahkanmu? Jika pun kamu datang di
hadapanku saat ini juga, aku akan memelukmu erat dan tak peduli kesalahanmu
apa. Aku tak peduli tentang kamu yang meninggalkan kami secara mengejutkan. Aku
tak akan lagi peduli tentang kamu yang membohongi kami secara diam-diam. Aku tak
peduli! Sayangnya, itu terlalu mustahil untuk terjadi sekarang.
Air
mataku selalu jatuh ketika langit juga menjatuhkan tangisannya. Aku pernah
kedinginan menerjang hujan hanya karena ingin meminum teh bersamamu. Aku pernah
pergi diam-diam hanya karena terlalu merindukanmu. Saat ini pun, sebenarnya aku
bisa melakukannya. Tapi aku tak siap dengan segala risikonya. Aku masih
berharap kamu yang kembali tanpa harus kujemput berulang kali, seperti dulu.
Dalam
lima waktuku, aku selalu berdoa semoga kamu kembali dan memilih kami. Aku masih
mneyesal tentang waktu itu yang membiarkanmu sendiri hingga akhirnya kamu
benar-benar pergi. Astaga... air mataku jatuh tak tertahan lagi, kau tahu? Aku tak
ingin berbohong lagi, tapi untuk siapa aku jujur?
Setiap
jengkal jalanan yang pernah kita lewati, kepalaku memutar otomatis tentang
kenangan bahwa aku pernah bersamamu melewatinya. Setiap mengunjungi
tempat-tempat yang pernah kukunjungi denganmu, aku selalu tak siap jika
tiba-tiba harus menemukanmu. Aku takut berlebihan menjerit bahagia, atau
terluka. Aku merindukanmu, aku ingin melihat dan memelukmu. Tapi aku takut. Kau
tahu? Ini menyakitkan.
“Hei,
aku bawa beberapa buku dari kota. Sini ke rumahku.” Isi pesanmu tujuh tahun
yang lalu. Bahkan aku masih ingat.
“Hei,
kutu buku! Sini ke rumahku, aku mau mencoba resep baru.” Aku rindu masakanmu. Sungguh.
Haha,
aneh bukan? Orang lain sibuk merencanakan tentang kenangan baru. Tapi aku masih
sibuk merapikan pilu. Bagaimana aku akan menyusun lembar yang baru, kalau yang
berlalu belum juga selesai. Aku masih ingat tentang kamu yang memahamkanku soal
perasaan.
“Jangan
gampang percaya laki-laki.” Katamu, padahal waktu itu aku belum paham tentang
yang kau bicarakan. Tahu tidak, bahkan kalimat itu masih ada di kepalaku hingga
sekarang. Aku tak mudah untuk jatuh cinta, atau hanya sekadar suka. Terbukti, kan,
aku tidak sepertimu. Apalagi selepas kau pergi. Aku jadi menjaga jarak
sejauh-jauhnya dari laki-laki. Dadaku seketika berdebar dan napasku memburu
mendengar bentakan laki-laki. Tanganku bergetar, aku benci mendengar bentakan. Ternyata,
aku masih setrauma itu.
Kemarin
aku bertemu seorang perempuan, baik sekali. Dia berkata seperti ini,
“Kita
harus belajar menjaga suara untuk tetap rendah. Tegas bukan membentak, nanti
orang lain bakal memberontak. Belajar jadi ibu yang baik, walaupun masih
bertahun-tahun lagi. Kadang kita susah berdamai dengan situasi kalau mood kita sedang berantakan, jadi
belajar dari sekarang.” Begitu katanya.
“Soal
perasaan itu terlalu rumit, apalagi dua orang.” Katamu waktu itu sambil
menggerakkan tangan secara abstrak di depan muka. Aku tak mengerti.
“Serumit
apa dibanding pengoperasian rumus-rumus kimia?” Tanyaku polos, sepolos usiaku
yang baru masuk SMP.
“Ah
gak seru kamu. Ntar kalau udah gede juga ngerti.” Aku memang yang terkecil
diantara yang berlima. Ternyata serumit ini, bahkan bukan tentang dua orang. Tapi
perasaanku sendiri, yang tak bisa kuhela.
Besok
aku pulang, diantara kita ada yang sedang terbaring sakit. Padahal ada banyak
hal yang ingin kubagi padanya, termasuk tentang aku yang ingin menemukanmu
lagi. Tapi mungkin kutunda sampai ia pulih. Kamu jahat sekali, tak ada di sini
saat sedang begini.
-
Hampir bosan merindukanmu.
Komentar
Posting Komentar