Malaikat-Malaikat di Rumah Kami


           

                                                                 picture by augustiv.

            “Kami pamit dulu ya, Bu..”
            “Iya, hati-hati di jalan. Maaf lo, ya, Ibu sudah merepotkan.”
            “Nggak Bu, saya yang merepotkan berkali-kali.”
            Aku menutup pintu gerbang setelah mencium tangannya dan beruluk salam. Melambaikan tangan melalui celah besi-besi. Kemudian kulajukan motorku menembus serayu malam.
            Setelah hampir enam bulan, malam ini aku mengunjungi tempat ini lagi. Sebuah rumah sederhana yang aku menuai banyak sekali pelajaran di dalamnya. Aku tidak berkunjung sendirian, ada Liana bersamaku. Dia sahabat karibku sejak SMA.
            Namanya Bu Yanti, seorang ibu rumah tangga yang dua tahun lalu setiap dua minggu sekali mengunjungi rumah kontrakan kami – untuk mengantar gallon air minum. Waktu itu beliau sedang hamil besar. Mengendarai motor matic dengan keranjang besar di jok belakang berisi gallon. Sering aku menggigit bibir ketika Bu Yanti tidak ingin dibantu menurunkan gallon berisi air dari motornya.
            “Nggak papa Mbak.” Begitu katanya sambil tersenyum. Beberapa keadaan memang mengharuskan kita untuk tetap kuat dan tersenyum. Aku merasakannya, meski dalam judul yang berbeda.
            Kadang beliau datang bersama dua orang anak lelakinya yang masih kecil. Yang satu berumur lima tahun, kakaknya berumur tujuh tahun. Mereka anak-anak yang pandai, dan sopan. Mereka tak segan lebih dulu menyapa atau mengulurkan tangan untuk bersalaman. Beberapa minggu kemudian hingga sekarang, Bu Yanti tidak lagi mengantar gallon ke rumah kami – digantikan suaminya. Kedua putranya masih sering turut serta. Namanya Pak Umar, usianya sekitar tiga puluh sembilan tahun. Iya, memang masih cukup muda. Beliau selalu datang sekitar setelah maghrib atau menjelang dhuha.
            “Di antar besok pagi-pagi banget ya, Mbak. Kalau sore bapak masih kerja.” Begitu balasannya ketika aku mengirim pesan untuk memesan gallon ke Bu Yanti. Aku sering menebak-nebak tentang siapa Bu Yanti dan suaminya.
            “Kira-kira Pak Umar itu kerja apa ya, Ma? Kok  kayaknya sibuk banget, sampai ga sempet nganter gallon aja.” Kadang aku memang merasa jengkel kalau harus menunggu, padahal tidak ada air minum sama sekali dan harus membeli atau merebus air kran. Mamaku tipe orang yang selalu nggak mau ambil pusing tentang sesuatu yang bukan menjadi urusannya. Jadi hanya menjawab sekadarnya saja dan tidak membuat rasa penasaranku hilang. Dan kenapa juga Bu Yanti tidak mengantar gallon lagi? Aku benar-benar tidak mau mengerti waktu itu.
            Hingga akhirnya, enam bulan lalu aku harus berurusan dengan Bu Yanti tentang suatu hal. Aku jadi sering berkirim pesan dan mengunjungi rumahnya yang berada di kelurahan sebelah. Mengobrol banyak hal dan itu membuatku tahu tentang apa yang tak pernah kupikirkan selama ini. Benar, segala sesuatu akan kita pahami jika mau berkomunikasi. Ketika awalnya hanya berbasa-basi ringan atau hanya mengucap terima kasih, sekarang justru aku sering merindukan masa-masa dimana aku masih sering ke rumahnya, bertemu putra-putranya. Dari sini pelajaran seumur hidup itu kumulai.
            “Hai! Masih ingat sama kakak?” ucapku sambil menyamakan tinggiku agar sejajar dengan bocah laki-laki berumur lima tahun itu. Dia tersenyum menampakkan gigi susunya dan mengangguk malu-malu. Namanya Fawaz, Fawaz Abdullah, anak ketiga. Kata Bu Yanti, dia anak yang paling unik di antara keempat putranya. Dia yang paling aktif dan tidak bisa diam. Bu Yanti juga memiliki sebutan-sebutan yang berbeda untuk keempat malaikatnya. Ah iya, aku lupa belum bilang. Ternyata Bu Yanti memiliki empat putra. Sulung bernama Azzam Abdullah, anak paling tenang di antara keempatnya. Azzam tidak mudah terusik dengan apa yang ada di depannya. Tidak banyak bicara dan penuh kasih untuk ketiga adiknya. Sekarang dia kelas lima sekolah dasar.
            Adalah Adnan yang kedua, masih sama, Adnani Abdullah. Seperti namanya, penenang hati. Bu Yanti bilang, dia anak paling spesial. Dia paling peka di antara yang lain. Paling patuh, dan paling peduli kepada saudara-saudaranya. Tapi jangan salah, dia bahkan tidak segan untuk berkelahi dengan siapapun jika ada yang mengganggu adiknya. Ia anak yang pintar dan tenang pembawaannya. Si bungsu ada Fariz, Alfarizi Abdullah. Usianya baru delapan belas bulan. Bayi berpipi gembil yang masih cadel mengucapkan kata. Aku merindukan mereka.
            “Mas Fawaz sudah sholat ashar?” tanyaku. Dia menggeleng, aku menaikkan alis.
            “Kok belum? Sholat ashar dulu, nanti baru main.” Dia kemudian berlari ke ruangan rumah yang lebih dalam. Aku tersenyum. Bagiku mereka semua berbeda dari anak-anak seusianya kebanyakan. Dengan tingkah laku mereka yang seperti itu, cara ajaib apa yang diajarkan kedua orangtuanya di rumah. Semua anak memang memiliki caranya masing-masing untuk belajar, dan untuk tumbuh. Tidak hanya mereka, di rumah aku akrab dengan anak kecil. Karena memang tetangga banyak yang punya  anak kecil dan sering dibawa ke rumah, aku dekat dengan mereka. Setiap orangtua memiliki cara masing-masing pula untuk mendidik anaknya menjadi orang. Dan yang satu ini, selalu membuatku haru.
            “Abinya kalau sore ngajarin anak-anak, Dik. Kalau pagi ngajar di sekolah.” Bu Yanti memulai ceritanya sambil menginjak pedal mesin jahitnya. Aku duduk di shofa sederhana di ruangan jahitnya sambil memangku si bungsu. Ternyata Pak Umar seorang PNS yang mengajar di salah satu SD negeri di kecamatan. Oh pantas tak sempat mengantar gallon. Bu Yanti sendiri, walaupun hanya ibu rumah tangga sambil menjahit, beliau adalah sarjana Ilmu Komunikasi. Benar-benar tak terduga. Pak Umar yang seorang guru SD, beliau juga mengajar bahasa Arab dan mata pelajaran lainnya. Allah, kadang diri sering angkuh dengan dugaan-dugaan yang tak tahu diri di dalam hati.
            “Kenapa nggak sekolah di SDIT atau semacamnya Bu?” Aku tahu kalau Bu Yanti bukan orang yang keadaan ekonominya kurang meskipun dengan kehidupan yang sederhana. Orangtua selalu meginginkan yang terbaik pasti untuk anak-anaknya. Terlebih jaman sekarang, siapa yang tak mau menyekolahkan anaknya di sekolah swasta dengan pedidikan yang lebih beragam.
            “Nggak papa, Dik. Ibu nggak mau saja kalau anak-anak sampai kehilangan waktunya untuk bermain, mereka pasti masih butuh itu. Anak-anak masih bisa belajar ngaji di rumah, TPA kalau sore hari, dan masih sempat tidur siang.” Tidur siang bisa membantu pertumbuhan, memang dianjurkan untuk tidur siang. Dan menurutku, sekolah full day kadang merampas kebebasan anak-anak untuk mengembangkan dirinya.
            “Lagipula di sekolah ada Abinya yang merhatiin mereka, Dik.” Lanjutnya sambil  tersenyum, menggantung jilbab hasil jahitannya di  ujung ruangan, pandanganku mengikutinya.
            “Mereka mudah diajak belajar. Kalau waktunya belajar, tanpa disuruh pun, mereka langsung berkumpul membawa bukunya masing-masing. Cuma, yang ketiga memang agak susah anaknya. Tahu sendiri, kan, Fawaz yang paling unik.” Aku tertawa.
            “Biasanya habis subuh sama setelah maghrib itu mereka belajarnya. Kadang Ummi yang menemani, kadang Abinya.” Aku membulatkan bibir mengucapkan ‘Oh’ sambil mengangguk-ngangguk.
            “Memang biasanya kalau belajar  seberapa lama, Bu?”
            “Sebentar aja, nggak lama, cuma tiga puluh menitan. Kalau menghafal biasanya dilanjut sebelum tidur.” Kebanyakan orang menghafal menggunakan waktu setelah tidur, tapi sudah kubilang, kan, kalau yang satu ini berbeda.
            “Assalamu’alaikum Ummi..” Terdengar suara sedikit berteriak dari depan, aku menoleh. Azzam dan Adnan masih menyiman tas ranselnya di punggung.
            “Wa’alaikumussalam anak Ummi.” Bu Yanti mengulurkan tangan, keduanya mencium bergantian. Kemudian berjalan ke arahku yang masih duduk, menyambut tanganku.
            “Dari mana Mas?” Tanyaku kepada Adnan yang lebih dulu mencium tanganku. Harusnya aku yang mencium tangan mereka, aku tak pantas.
            “Dari pulang ngaji, sama Mas Azzam.”
            “Tadi naik apa Mas?” giliran Azzam yang kutanya.
            “Dijemput sama Abi.” Ia menunduk, mencium pipi Fariz yang ada di pangkuanku.
            “Hei, Mas mandi dulu ya.” Ucapnya, berbicara dengan adiknya. Aku tertawa. Bu Yanti tidak membiasakan anak-anak menyebut ‘Aku’ atau ‘Kamu’, tapi membiasakan untuk menyebut bagaiamana caranya memanggil yang lebih sopan. Pelajaran ke sekian yang kudapatkan sejak beberapa kali aku berkunjung.


-          Teruntuk si sholih Abdullah dan Mumtaza, yang selalu menginspirasi.
Terlalu banyak kesan yang tak bisa kusebutkan, hatiku berisik sekali, dan mataku tak mau kering sebentar saja mengingatnya.

Komentar