Tak Biasa CInta

Hello, it's been a very long day since I was last here. What's going on? I hope you've a great day!


Karena aku sudah lama tidak bercerita di sini, mungkin kali ini aku pengin menceritakan yang benar-benar terjadi di hidupku. Bukan tanpa alasan aku memutuskan untuk menuliskannya di sini, salah satunya karena ini terjadi beberapa kali dalam tiga tahun terakhir ini, mungkin. Awalnya aku hanya ingin membuat kalimat singkat saja begitu, di Twitter, tapi ternyata 280 karakter yang diberikan Twitter itu tidak bisa mewakili perasaan dan isi pikiranku seluruhnya. Jadi aku teringat, bahwa aku masih memiliki satu lagi 'tempat pulang' yang sudah hampir berkerak ini ditinggal pemiliknya.

Kamu masih ingat dengan kisah Natta Reza dan istrinya, Wardah Maulina yang menikah tanpa pacaran, yang berawal dari DM Instagram, kamudian menikah tidak berselang lama? Itu kisah yang manis, kan? Semua perempuan pasti berhak diistimewakan, dan dihargai dengan prinsip masing-masing. Waktu kisah itu mencuat ke publik, pasti banyak yang menginginkan kisah tersebut, ya, pasti banyak juga yang tidak sependapat. Pun aku, waktu itu hanya menjadi salah satu orang yang merenspon singkat saat temanku menceritakan soal Natta-Wardah yang bikin iri.

"Oh, wow! Berani sekali, ya," hanya itu tanggapanku. Setelahnya kami membicarakan hal lain, dan hanya menduga-duga dalam hati saja. Bagaimana Wardah meyakinkan diri dengan lamaran seorang lelaki yang baru saja dikenalnya. Bagaimana Natta yakin kalau perempuan yang menyukai fotonya di Instagram adalah jodohnya? Jadi menurutku, itu sikap yang berani sekali mengambil risiko. Tapi, jalan Tuhan untuk mempertemukan manusia dengan pasangannya memang tidak ada yang tahu, kan, bagaimana uniknya?

Siapa sangka juga jalan unik yang ditempuh Natta Reza untuk menemukan perempuan secantik Wardah ternyata juga menginspirasi banyak orang? Itu terjadi padaku! Iya, kamu tidak salah baca.

Sayang sekali, aku bukan perempuan yang seyakin Wardah untuk menerima pinangan orang asing, yang mengirim pesan di akun media sosial. Dan, ya, mungkin beberapa orang akan menganggapku bodoh karena menolak beberapa laki-laki yang mengajak berkenalan (read: ta'aruf) dengan tujuan menikah. 

"Kan, baru kenalan dulu, ta'aruf untuk pendekatan. Habis itu mau memutuskan lanjut serius atau cukup, kan juga hak kamu."

Iya, aku mengerti, aku paham. Tapi apa, ya... semua orang berhak punya prinsip, kan. Semua orang memiliki pilihan. Dan dengan menerima orang asing dengan tujuan menikah, aku tidak menyetujui itu. Semua kisah cinta tidak seperti Natta-Wardah, aku yakin. Natta-Wardah mungkin salah satu pasangan yang beruntung memiliki kisah yang menarik. Tapi masing-masing manusia punya alur ceritanya sendiri, tidak ada sama sekali yang benar-benar sama, aku yakin Tuhan pasti juga adil dengan hamba-Nya. Boleh saja, sih terinspirasi. Bagus sekali jika mau mengambil pelajaran dari orang-orang, tapi tidak setiap yang kita lihat harus diterapkan dalam hidup kita, kan? Lagipula hidup orang di belakang yang terlihat, siapa yang tahu, sih. Kita pasti juga memiliki takdir yang tidak kalah menarik, dan tidak semuanya perlu diketahui publik, kan...

Aku salah satu dari banyak orang yang memilih untuk memiliki kisah hidup yang tidak serupa dengan Natta-Wardah. Bukan karena apa, tapi semakin bertambah usia dan berusaha bertumbuh dengan belajar, aku memiliki banyak pandangan tentang hidup, terutama tentang pernikahan. Aku tidak menyalahkan mereka yang ingin memiliki kisah seperti Natta-Wardah, hanya saja tidak baik jika memaksakan apa yang kamu yakini kepada orang lain yang sudah pasti memiliki rencana berbeda terhadap hidupnya. Jika pun suatu hari nanti sedang pendekatan dengan seorang laki-laki, aku tentu akan memilih yang sudah pernah aku kenal terlebih dahulu, yang sudah sering aku lihat sebelumnya. Setidaknya aku harus tahu dia siapa, seperti apa dan bagaimana, untuk memutuskan melakukan pendekatan dengan tujuan serius atau tidak dan memutuskan cukup menjadi rekan saja. Ya, aku perempuan pada umumnya, yang tidak mudah menaruh percaya kepada laki-laki hanya karena berkenalan selama seminggu atau sebulan, dua bulan.

Bagaimana tidak, pernikahan adalah hal yang sakral dan berlangsung dalam waktu yang panjang. Bagaimana mungkin aku akan melakukannya dengan orang asing yang tiba-tiba mengajak menikah? Entah aku saja atau mungkin kamu juga merasakannya, aku memiliki rasa takut yang sedikit rumit tentang pernikahan. Pernikahan tidak sesederhana itu, tidak segemerlap waktu resepsi. 

Bagiku perempuan bukan barang di E commerce, dilihat detail yang 'tertera' kemudian memutuskan untuk dimasukkan ke keranjang, "Oke, dia cocok." not that simple. Perempuan adalah manusia (dewasa) yang memiliki hak untuk menentukan dan memperhatikan siapa yang mendekatinya, bukan sekedar sembarang akun yang discroll secara acak di media sosial kemudian memutuskan "Iya" hanya dengan melihat tampilan profilnya.

C'mon, berhentilah berpikir bahwa semua harus diikuti. "Tapi aku memiliki kendali dalam hidupku, dan aku memutuskan untuk menginginkan kisah seperti mereka," oh, yasudah. Aku juga hanya menuangkan perasaan dan pikiranku saja.

Aku justru lebih menghargai orang asing yang berkenalan dengan tujuan menjalin relasi pertemanan, teman bertukar pikiran dan saling memberi ide. Jika kedepannya takdir telah menyusun hubungan yang berbeda dari seorang 'teman', biarlah itu berjalan alami dan sambil berpikir matang untuk mengambil keputusan. Tentu saja ketika berkenalan aku sarankan jangan langsung meminta nomor WhatsApp, tanya saja akun media sosial yang lain. Karena menurutku, nomor WhatsApp itu bagian dari privasi, hanya untuk orang terdekat dan rekan dalam kepentingan tertentu saja. Sangat tidak nyaman memiliki kontaknya, sempat berkenalan dan selanjutnya hanya menjadi viewer status. Mau dihapus segan, tidak dihapus, ya, buat apa. Aku tipe orang yang menyimpan sesuatu yang sudah jelas apa fungsinya. Bukan orang yang menyukai menumpuk barang dengan berpikir barangkali nanti terpakai, begitu pun nomor WhatsApp. Maaf, ya, jika ini menyinggungmu. Tapi, lagi lagi, saling membuat orang lain merasa nyaman menurutku itu perlu. Nyaman yang bukan keterusan menjadi sayang, ya. Membuat nyaman yang saling menghargai.

Pernah juga, salah satu diantara laki-laki yang mengirimiku pesan meyakinkanku dengan menjelaskan bagaimana dirinya, karena apa memilih orang yang belum pernah dikenalnya, dan aku pula! Padahal waktu itu aku sudah memberinya beberapa saran jika ia ingin mencari perempuan untuk segera dinikahi, yang jelas aku memberikan penolakan atas lamarannya itu. Aku pun ragu peristiwa seperti itu bisa disebut lamaran. 

Tapi dia ternyata gigih sekali dengan mengirimiku pesan di hari berikutnya menawarkan hal yang sama dengan menikah muda, iya aku masih cukup muda, hehe. Aku menolaknya lagi, memberikan saran yang lain lagi, "Bagaimana kalau Mas mengajak teman dekat untuk diajak ta'aruf?" dan saran yang lain lagi. Dan dia meyakinkanku lagi dengan kalimat yang, ya...jika aku remaja 18 tahun pasti aku menyetujuinya. Iya, dulu aku juga bercita-cita menikah muda dalam hati, tanpa kuucapkan, setidaknya umur 22 tahun, lah. Tapi yang namanya belajar dan bertumbuh, aku berterima kasih kepada Tuhan karena di umur segitu jelas aku belum siap menikah dan banyak pemahaman yang membuatku berpikir ulang untuk menikah cepat. Hanya karena romantisasi menikah muda waktu itu sedang menjamur. 

Ya, akhirnya aku menolaknya lagi dan menegaskan bahwa aku tidak berencana menikah dalam waktu dekat. Pesan-pesan selanjutnya aku abaikan. Kenapa nggak diblock saja? Aku sebenarnya tidak pernah ngeblock siapa pun di media sosial, jika pun itu mengganggu dan jika aku masih bisa mengatasinya, aku biarkan. Kecuali, dulu ada orang serupa yang seperti itu, berdalih mencari relawan guru ngaji dan butuh teman untuk bercerita. Setelah aku menyetujui, eh malah seringkali menelepon di jam-jam yang nggak wajar. Sudah pasti itu membuat tidak nyaman.

Aku pikir ini sudah kelewatan dan bertele-tele, aku akhiri saja, ya. 

Kamu boleh tertarik dengan kisah siapa pun, perjalanan siapa pun, tapi setiap manusia memiliki starting point yang berbeda. Setiap orang memiliki takdir yang tidak serupa. Jadi apa yang kamu lihat, cukup dijadikan bagian dari pembelajaran, tidak perlu memaksakan diri untuk memiliki garis yang sama. Tuhan adil, kok. Dia juga memiliki takdir yang sudah dipersiapkan untukmu, yang terbaik.

Komentar