Tentang Istana Lebah
"Apa selama ini aku sedang menahan diri? Menahan untuk tidak marah, menahan untuk tidak berteriak?"
"Kupikir karena aku sosok yang ramah tanpa amarah. Kupikir, tak ada yang pantas menerima rasa marahku. Ya, memang benar."
"Wah, bertahun-tahun aku pandai menahan diri."
Aku kupu-kupu yang memiliki warna sayap tak terlalu cantik. Aku memecahkan kepompongku yang menempel di dinding istana lebah beberapa tahun lalu. Aku hidup sebagai keluarga lebah. Akan kuceritakan singkat kehidupan kupu-kupu bersama makhluk penghasil madu itu.
Ketika jutaan lebah itu membuatku terluka, aku berlari, terbang keluar istana dan menangis. Tertatih mengepakkan sayapku yang telah terluka parah. Di luar sana, burung berwarna-warni menghiburku, cicit ramainya membuatku senang dan melupakan lukaku yang kian mengering. Mereka juga senang hinggap dan membersihkan sisa madu lebah yang menempel di tubuhku.
Setelah sekian lama, aku harus kembali ke dalam sarang itu, mengurus lebah-lebah, sebagai balas jasa telah mengijinkanku tinggal di istananya. Aku juga menghibur mereka dengan tarian sayapku yang anggun.
Ternyata mereka merindukanku. Mereka bukan melukaiku waktu itu, tapi beradaptasi dengan sosok yang berbeda dengan mereka. Aku disambutnya dengan suka cita, dipersilahkan duduk dan disuguhi madu paling istimewa dari Ratu lebah di istana itu.
Sayangnya, aku tak hanya menikmati manis dari madu. Tapi juga kadang terlukai oleh lebah-lebah baru yang belum mengenalku. Hingga di sekujur tubuhku ada ratusan bekas luka yang membiru, dan ratusan luka baru.
Apa perkenalan harus dengan melukai?
Suatu sore, burung warna-warni itu hinggap tak jauh dari sarang lebah berada. Mereka meneriakiku, "Kau tak bermain dengan kami lagi? Kau mementingkan lebah-lebah yang menyakitimu itu? Kami kecewa sama kamu. Nggak bisa dipercaya!"
Mereka berteriak saling menyahut, ramai. Aku menjelaskan tapi mereka tak mau mengerti. Cuitan riuh berdenging di telingaku seiring puluhan lebah yang menyengat kulitku. Ini sakit. Sakit. Aku hampir menangis tapi aku menahannya.
Kenapa salah satu pihak tak bisa memaklumi? Apa memaklumi sesulit itu? Ya, mungkin aku egois dengan mengatakan aku terluka. Kenapa kebaikan yang manis selalu ada kesakitan dan pahit yang tak terelakan?
Ya, beginilah hidup. Selalu ada warna-warna yang tak padu untuk disandingkan atau dileburkan.
"Aku melihat anak laki-laki berlari dengan senyum menawannya," mataku menghangat, sudut bibirku tertarik ke atas walau sedikit. Kemudian aku bercermin, "Aku ingin berlari tanpa beban seperti dia. Aku ingin tersenyum setulus itu. Aku ingin tertawa selepas itu."
Ya, aku mengerti. Jika sakit, mengakulah. Terluka, bicaralah. Marah, ungkapkan. Menahan segalanya memang membuat suasana menjadi baik. Tapi tidak setelahnya, dan tidak seterusnya. Aku harus mengungkapkannya, mengakuinya. Dengan cara yang baik.
Aku keluar dari istana lebah. Terbang kemanapun yang kumau. Menghisap bunga apapun yang kumau. Menyapa siapa saja yang kumau. Tidak seharusnya aku menahan diri untuk terus terluka. Tidak seharusnya aku mengabaikan luka terlalu lama. Bekas luka yang membiru masih ada, cara terbangku belum sempurna, tapi aku tidak lagi merasa kesakitan. Aku hanya harus sabar untuk sembuh seutuhnya, sampai hilang bekasnya, sampai tak apa-apa jika aku bertemu kembali dengan lebah-lebah itu. Aku harus menjadi kupu-kupu yang baik, yang cantik, untuk diriku sendiri.
"Walau memilih istana, kau bisa memilih untuk tidak tinggal di istana lebah. Jangan menahannya terlalu lama."
23:32 WIB
- Terima kasih, sudah bersabar satu hari lagi.
Komentar
Posting Komentar