Rabu dan Sebaris Pertanyaan Tentang Penerimaan



“Oke, ada pertanyaan?” ustadz Herman mengakhiri sesi pemaparan materinya dengan penawaran pertanyaan. Aku ikut mengangkat tangan, sambil menoleh ke penjuru kelas. Ada kah yang bertanya juga?
“Wah, terlalu banyak. Saya pilih ya,” Ustadz Herman memutuskan. Beberapa anak mendesah pasrah. Menerima nasib jika tunjuk jarinya tak menarik perhatian sang Ustadz.
            Siang itu, kami mengikuti sesi pelajaran jam ke enam, menjelang dzuhur. Mata pelajaran Al-Islam yang diampu Ustadz Herman. Dari tiga guru Al Islam di sekolah kami, beliau yang menjadi favorit seluruh murid. Pembawaannya yang santai tapi serius, penjelasan yang mudah dipahami, tak lupa dengan candaan kalem nan cerdas yang membuat kami hilang rasa kantuk di siang hari, dan sedikit melipur rasa lapar.  Sesi itu diisi dengan bab Penyebaran Islam di Cordoba, Spanyol. Sembari menyimak buku pegangan berwarna oren yang setebal ibu jari itu, kami mendengarkan penjelasan Ustadz Herman dengan tenang. Kelas yang diisi oleh beliau memang selalu terhipnotis untuk patuh. Bukan berarti tidak pernah ramai, tapi ya ramainya  karena Ustadz Herman yang bercanda di sela-sela penjelasan rumit.
            Hampir semua teori mampu kupahami, hanya satu bab yang membuatku memperhatikan sambil mengerutkan kening. Bab Waris. Akh, aku menyerah soal yang satu ini. Waktu  itu aku mendapatkan tempat duduk  paling  depan – di kelas kami memang bebas mau duduk dimana saja, tergantung jam datang – sambil bertopang dagu, bola mata ke barat dan ke timur mengikuti gerak spidol yang digerakkan Ustadz Herman membentuk angka-angka menghitung warisan. Dan seperti biasa, diakhiri dengan penawaran pertanyaan. Beberapa murid mengangguk paham. Beberapa yang lain pura-pura paham. Aku, masih mengerutkan kening sambil melihat Ustadz Herman.
            “Lisa paham?” tanya beliau. Aku menggelengkan kepala, kerutan di kening belum hilang.
            “Mana yang belum paham?”
            “Dari awal, Ustadz,” akuku malu-malu sambil tersenyum tanpa dosa.
            “Saya juga Ustadz,” murid laki-laki yang duduk di pojokan ikut mengangkat tangan.
            “Saya juga,” anak yang lain ikutan menyahut. Ustadz Herman menghela napas, mengurut dahi dramatis, kami tertawa, penjelasan tentang hitungan warisan diulang.
            Kembali ke bab Cordoba, beliau menjelaskan tentang masa kejayaan Islam di Spanyol yang luar biasa. Kegigihan Abdurrahman III dalam mengatasi kemelut pemerintahan. Saat itu terjadi pembunuhan Al-Muqtadir, Khalifah Abasiyah di Baghdad oleh pengawalnya sendiri. Awalnya Cordoba menggunakan sistem keamiran, baru pada tahun 929, Abdurrahman III mengangkat dirinya sendiri menggunakan gelar Khalifah.
“Adanya kerumitan pada saat itu, sistem kekhalifahan dianggap yang paling tepat untuk diterapkan kembali setelah 150 tahun lebih hilang dari Bani Umayyah. Periode pemerintahan itu dipimpin oleh tiga orang, Abdurrahman III, Al-Hakam II dan Hisyam II. Pada periode itu mengalami kesuksesan besar dibidang perdagangan dan kebudayaan, selain itu juga didirikan Masjid Raya Cordoba. Didirikan universitas, dan koleksi jutaan buku di perpustakaan meningkat.”
        “Kejayaan itu terjadi karena kegigihan dan keikhlasan,” Ustadz Herman mengambil napas sambil mengangkat spidol sejajar dengan jantung.
            “Ikhlas itu letaknya disini,”
         Udahlah, serumit dan sebesar apapun yang menimpa kita. Kuncinya ikhlas dulu, menerima bahwa itu juga karunia Allah yang Maha Kuasa,” suara beliau bernada tinggi kemudian rendah. Kami hanyut dalam penjelasannya, ya tak bisa dipungkiri jika beberapa kali menguap, penjelasan sejarah seolah pengantar tidur walau dibawakan sambil Stand-up.
            “Oke, kamu, Reza, apa pertanyaannya?” Ustadz Herman menunjuk murid paling pojok. Dan seterusnya hingga satu anak yang lain. Tentu saja bukan tanganku yang menarik perhatian.
            “Lima menit lagi adzan, sudah ya. Ayo Izan berangkat,” Ustadz Herman menyuruh ­tukang adzan di kelas kami untuk segera ke masjid lebih dulu. Itu, si artis yang suaranya merdu ketika bernyanyi. Haha
            Setelah diakhiri salam, separuh isi kelas berhambur keluar, ke masjid dan ada juga yang ke kantin tentunya. Aku masih bertahan di bangku. Beberapa temanku meghampiri Ustadz Herman yang sedang merapikan alat megajarnya. Aku penasaran mereka mau apa, menguping-lah aku dengan santai – karena dudukku paling depan jadi tidak repot. Mereka mengajukan pertanyaan yang tadi tidak terpilih. Tentu saja aku ikutan berdiri dan mengahmpiri meja guru. Aku mendengarkan pertanyaan-pertanyaan temanku dan memperhatikan penjelasan super singkat Ustadz Herman. Ketika giliranku yang bertanya, kukeluarkan kedua tangan dari saku baju putih yang panjangnya hampir sepaha, supaya terlihat lebih serius saja.
            “Ikhlas itu apa Ustadz?” pertanyaanku meluncur, Ustadz Herman mengangkat alis.
            “Ikhlas itu, bagaimana?”
          Aku tahu ikhlas itu berserah, menerima, pasrah, Lillahi ta’ala. Ikhlas adalah kunci supaya  semua baik-baik saja. Tapi, ikhlas itu, bagaimana?
            “Aduh, apa ada pertanyaan yang lain?”
            “Tidak Ustadz, hanya itu,”
         “Ikhlas itu, berat. Ikhlas itu….” Ustadz Herman berpikir, kami menunggu. Bagiku, ikhlas adalah persoalan paling rumit sepanjang hidup. Bagaimana kalau kita tidak ikhlas membuka mata di pagi hari? Bagaimana kalau ternyata kita tidak ikhlas menuntut ilmu yang hingga kepayahan mengejar nilai A ini? Bagaimana kalau kita tidak ikhlas menggunakan rezeki yang telah Allah karuniakan? Bagaimana kalau ternyata, aku sendiri belum ikhlas memperlakukan diriku sendiri, sesuai apa dan siapa diri ini? Ikhlas itu bagaimana?
            “Nah, sudah adzan,” Ustadz Herman menjentikkan jari, “Segera ke masjid. Jawabannya, kita cari sendiri-sendiri, ya,” Ustadz Herman berdiri, kami mundur satu langkah. Aku pasrah.
            Barangkali jika di dunia ini ada ujian tertulis tentang ikhlas, mungkin hanya orang-orang yang sudah khatam dengan kehidupan yang mendapat nilai seratus. Jika ditanya seseorang mengenai ikhlas itu bagaimana, barangkali aku tak dapat menemukan kata apa yang pertama kali akan kuucapkan. Kata Cak Dlahom dalam buku yang ditulis oleh Rusdi Mathari, “Ikhlas itu seperti engkau yang sedang membuang kotoran.” Apa kita pernah memikirkan seberapa banyak kotoran yang sudah kita keluarkan sejak lahir? Apa kita memikirkan akan kemana dan jadi apa benda itu? Apa kita memikirkannya setelah kotoran itu kita keluarkan? Apa kita pernah tidak rela membuangnya kemudian menyimpannya? Tentu tidak.


-  Jika kamu tahu ikhlas itu bagaimana, berbagilah denganku.


Komentar