Percobaan Yang Gagal
Pagi, bagaimana harimu, setelah tak pernah bertatap lagi?
Siang, bagaimana kau menjalaninya, setelah hanya tinggal berdua dengan rencana-rencana yang tinggal di kepala saja?
Tenanglah, aku sudah hapal dengan apa yang akan kau ucapkan pada detik pertama setiap jumpa.
"Jo, aku - rindu," katamu tercekat, seperti biasanya. Kemudian aku tersenyum merentangkan lengan. Detik berikutnya, kamu tertawa kecil sambil memalingkan mata, ada yang hampir jatuh disana.
"Simpan tuh lengan buat jodohmu!" Kini giliran aku yang tertawa. Bagaimana kalau aku berharapnya kamu?
"Mau makan dulu?" tanyaku sambil menarik tangan yang sempat kurentangkan, memasukkannya di saku jaket yang kukenakan. Jari telunjukmu menuju mata, menghapus sisa air mata yang hampir jatuh. Mata yang selalu kutebak kepada siapa binar yang selalu ia tunjukkan.
"Apa kali ini?" Tanyaku lagi saat kamu tak menjawab pertanyaanku yang paling membosankan. Bertemu di taman kampus saat sudah tak lagi menjadi mahasiswa juga membosankan. Kau tahu? Itu mengingatkanku tentang banyak peristiwa yang tak bisa diulang.
Aku melirikmu yang berjalan satu meter di sampingku. Kadang aku ingin mempertanyakan, juga menertawakan. Kita ini apa? Kita ini siapa?
"Kita ngobrol di perpustakaan, Jo?" Langkah kita berhenti sejenak sebelum aku menjawab, kamu mendongak menatapku. Aku menarik napas.
"Oke."
Kita melangkah di lapangan parkir, menuju kendaraan kita masing-masing. Dua puluh lima menit perjalanan menuju perpustakaan daerah yang sering kukunjungi, sediri ataupun dengannya. Jalanan lengang, hanya ada orang-orang yang terpaksa keluar untuk menghibur lapar. Kota yang katanya paling nyaman untuk ditinggali, kini tak ubahnya kota mati yang ditinggal penghuninya - sebab Corona?
Lampu lalu lintas berubah merah hingga hijau setiap menitnya, tak ada kendaraan kecuali kamu dan aku. Kenapa kita di sini? Kenapa kita pergi ke perpustakaan, tidak di rumah saja? Toh kamu tetap bisa menceritakan semuanya. Apa kamu tidak takut? Sedangkan aku mencemaskanmu.
Lampu berubah hijau, kuputar kemudi ke arah kanan, melewati persawahan sempit di tengah kota. Benar-benar lengang. Kami melewati pusat perbelanjaan yang cukup besar, tak seramai biasanya, jauh dari kata ramai.
Kulajukan kendaraan dengan kecepatan rata-rata di belakangmu. Kepalaku sambil memikirkan banyak hal. Menerjemahkan pertemuan demi pertemuan yang kuanggap bukan hal biasa, walau menurutmu ini (dan aku) bukan apa-apa. Barangkali hanya aku yang mencoba keras mencari jalan keluar, dari ketersesatanku mengartikan banyak hal.
Kami sampai di perpustakaan, memarkirkan kendaraan kita masing-masing. Perpustakaan yang biasanya ramai anak kecil juga terasa sepi. Ciri khas dari perpustakaan ini benar-benar hilang. Aku mendorong pintu kaca, masuk lebih dulu kemudian menahan pintu untuk kamu lewati. Langkahmu yang langsung menuju meja Cafetaria di lantai satu membuatku mengangkat tangan sambil menunjuk tangga ke lantai dua, bingung.
"Nanti saja, aku haus." Katamu sambil menarik kursi. Aku berjalan ke arahnya sambil memanggil pelayan.
"Jus Alpukat sama roti bakar coklat keju."
"Dua mas." Kataku, pelayan meningglkan meja kami. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, hanya ada dua pengunjung, masing-masing di sudut ruangan dengan buku di tangannya.
Lalu, kau menceritakan tentang apapun yang kau lalui, aku mendengarkan dengan jeli, tanpa terlewat satu kata pun. Apa kau merasakannya? Aku menganggapmu berbeda dari perempuan kebanyakan.
Sayangnya, semesta tak pernah meng-amini untuk sebuah pernyataan. Barangkali apa yang kurasakan cukup berbalas dalam narasiku saja. Selama ini, aku mencoba mencari pengalihan, agar tak terlalu ingat dengan pertemuan-pertemuan. Sebaris kata 'mencintaimu', adalah yang tak pernah berani kuusahakan. Sebenarnya, bagian terberat dari proses terbalaskan adalah usaha untuk mengutarakan . Dan memperjuangkanmu, adalah usaha yang tak mau kulakukan. Aku takut tertikam permohonanku sendiri jika akhirnya kamu perempuan yang bukan jawaban dari pertanyaanku kepada Tuhan.
Jika saja perasaan dapat kuajak bicara, akan kukatakan padanya menyerahlah saja, pada apa-apa yang seharusnya memang bukan untukmu. Tapi lain, hatiku masih kuat ternyata, untuk berharap sekali lagi. Aku berusaha, berusaha memukul mundur atas keinginganku yang terlalu lancang. Tapi hatiku menginginkan lain, meski sampai halaman ke sekian pun, ini masih kisah sendu yang tak ada benang merah walau kita bertemu.
Teruntuk perempuan cantik yang ada di hadapanku, maaf jika aku tidak sopan diam-diam memujimu. Aku masih Jo yang tetap bersemangat menulis fiksi tentangmu.
- Dua kata dalam 09.07, mode di rumah saja.
Siang, bagaimana kau menjalaninya, setelah hanya tinggal berdua dengan rencana-rencana yang tinggal di kepala saja?
Tenanglah, aku sudah hapal dengan apa yang akan kau ucapkan pada detik pertama setiap jumpa.
"Jo, aku - rindu," katamu tercekat, seperti biasanya. Kemudian aku tersenyum merentangkan lengan. Detik berikutnya, kamu tertawa kecil sambil memalingkan mata, ada yang hampir jatuh disana.
"Simpan tuh lengan buat jodohmu!" Kini giliran aku yang tertawa. Bagaimana kalau aku berharapnya kamu?
"Mau makan dulu?" tanyaku sambil menarik tangan yang sempat kurentangkan, memasukkannya di saku jaket yang kukenakan. Jari telunjukmu menuju mata, menghapus sisa air mata yang hampir jatuh. Mata yang selalu kutebak kepada siapa binar yang selalu ia tunjukkan.
"Apa kali ini?" Tanyaku lagi saat kamu tak menjawab pertanyaanku yang paling membosankan. Bertemu di taman kampus saat sudah tak lagi menjadi mahasiswa juga membosankan. Kau tahu? Itu mengingatkanku tentang banyak peristiwa yang tak bisa diulang.
Aku melirikmu yang berjalan satu meter di sampingku. Kadang aku ingin mempertanyakan, juga menertawakan. Kita ini apa? Kita ini siapa?
"Kita ngobrol di perpustakaan, Jo?" Langkah kita berhenti sejenak sebelum aku menjawab, kamu mendongak menatapku. Aku menarik napas.
"Oke."
Kita melangkah di lapangan parkir, menuju kendaraan kita masing-masing. Dua puluh lima menit perjalanan menuju perpustakaan daerah yang sering kukunjungi, sediri ataupun dengannya. Jalanan lengang, hanya ada orang-orang yang terpaksa keluar untuk menghibur lapar. Kota yang katanya paling nyaman untuk ditinggali, kini tak ubahnya kota mati yang ditinggal penghuninya - sebab Corona?
Lampu lalu lintas berubah merah hingga hijau setiap menitnya, tak ada kendaraan kecuali kamu dan aku. Kenapa kita di sini? Kenapa kita pergi ke perpustakaan, tidak di rumah saja? Toh kamu tetap bisa menceritakan semuanya. Apa kamu tidak takut? Sedangkan aku mencemaskanmu.
Lampu berubah hijau, kuputar kemudi ke arah kanan, melewati persawahan sempit di tengah kota. Benar-benar lengang. Kami melewati pusat perbelanjaan yang cukup besar, tak seramai biasanya, jauh dari kata ramai.
Kulajukan kendaraan dengan kecepatan rata-rata di belakangmu. Kepalaku sambil memikirkan banyak hal. Menerjemahkan pertemuan demi pertemuan yang kuanggap bukan hal biasa, walau menurutmu ini (dan aku) bukan apa-apa. Barangkali hanya aku yang mencoba keras mencari jalan keluar, dari ketersesatanku mengartikan banyak hal.
Kami sampai di perpustakaan, memarkirkan kendaraan kita masing-masing. Perpustakaan yang biasanya ramai anak kecil juga terasa sepi. Ciri khas dari perpustakaan ini benar-benar hilang. Aku mendorong pintu kaca, masuk lebih dulu kemudian menahan pintu untuk kamu lewati. Langkahmu yang langsung menuju meja Cafetaria di lantai satu membuatku mengangkat tangan sambil menunjuk tangga ke lantai dua, bingung.
"Nanti saja, aku haus." Katamu sambil menarik kursi. Aku berjalan ke arahnya sambil memanggil pelayan.
"Jus Alpukat sama roti bakar coklat keju."
"Dua mas." Kataku, pelayan meningglkan meja kami. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, hanya ada dua pengunjung, masing-masing di sudut ruangan dengan buku di tangannya.
Lalu, kau menceritakan tentang apapun yang kau lalui, aku mendengarkan dengan jeli, tanpa terlewat satu kata pun. Apa kau merasakannya? Aku menganggapmu berbeda dari perempuan kebanyakan.
Sayangnya, semesta tak pernah meng-amini untuk sebuah pernyataan. Barangkali apa yang kurasakan cukup berbalas dalam narasiku saja. Selama ini, aku mencoba mencari pengalihan, agar tak terlalu ingat dengan pertemuan-pertemuan. Sebaris kata 'mencintaimu', adalah yang tak pernah berani kuusahakan. Sebenarnya, bagian terberat dari proses terbalaskan adalah usaha untuk mengutarakan . Dan memperjuangkanmu, adalah usaha yang tak mau kulakukan. Aku takut tertikam permohonanku sendiri jika akhirnya kamu perempuan yang bukan jawaban dari pertanyaanku kepada Tuhan.
Jika saja perasaan dapat kuajak bicara, akan kukatakan padanya menyerahlah saja, pada apa-apa yang seharusnya memang bukan untukmu. Tapi lain, hatiku masih kuat ternyata, untuk berharap sekali lagi. Aku berusaha, berusaha memukul mundur atas keinginganku yang terlalu lancang. Tapi hatiku menginginkan lain, meski sampai halaman ke sekian pun, ini masih kisah sendu yang tak ada benang merah walau kita bertemu.
Teruntuk perempuan cantik yang ada di hadapanku, maaf jika aku tidak sopan diam-diam memujimu. Aku masih Jo yang tetap bersemangat menulis fiksi tentangmu.
- Dua kata dalam 09.07, mode di rumah saja.
Komentar
Posting Komentar