Berteman dan Beberapa Pilihan
Lemon tea
di hadapan kita tinggal bongkahan es dengan potongan lemon yang kehilangan
sarinya. Sepasang garpu sendok telah terbalik di piring kita masing-masing.
Radio di pojok ruangan memutar lagu campursari yang lagi viral, yang tak
kukenal. Kamu mengaduk es tanpa air di gelas, aku mengeluarkan ponsel dari saku
kemeja. Membuka aplikasi Notes project,
ke folder our project kemudian
membuat catatan baru.
Bagaimana
kalau masa depan benar-benar memilih kita?
Aku belum mempersiapkan bekal untuk perjalanan yang lebih jauh dari hari
ini.
Perjalanan.
Kupikir, hari-hari terakhir hati kita telah berjalan lebih jauh dari tempat
kita sampai. Benar, kan? Kita tak bisa selalu beriringan. Ibaratnya kaki kanan
dan kaki kiri. Ia harus maju bergantian, atau tak akan pernah bergerak kalau
memilih selalu bersama.
Barangkali,
nanti aku bisa menghiburmu dengan membawakan thai tea rasa green tea kesukaanmu.
Gelombang radio memutar suara seorang motivator muda, laki-laki, yang terkenal
di Indonesia. Suaranya jernih.
"Menyerah
juga butuh usaha. Menyerah itu berat."
Iya,
benar. Menyerah itu berat. Kita selalu dihadapkan dengan dua pilihan. Seperti
saat ini, kira-kira kita akan memilih yang mana? Keduanya sama-sama berat. Jika
mundur, ada beban emosional tentang rasa bersalah yang harus dibawa
berhari-hari berikutnya, bahkan bisa saja sampai bertahun-tahun nanti. Jika
memutuskan mengambil pilihan, akh. Ini bukan sesuatu yang mudah.
"Maka
pikirkan sepuluh kali, bahkan seratus kali jika kamu ingin menyerah."
Motivator itu melanjutkan kalimatnya dengan menggebu-nggebu. Kendaraan di luar
tak kalah beradu kecepatan menerbangkan debu-debu. Ck.
Harus
kupikirkan bagaimana lagi, aku tak pernah menemukan jawabannya. Bagaimana aku
akan bertanya kepada orang lain, jika pemegang solusi adalah aku sendiri.
"Seorang
pemenang sejati, tidak akan berubah meskipun telah sampai pada ujung
pencapaiannya." Suara rendah motivator itu terdengar dalam, seiring habisnya
volume radio yang terkalahkan dengan knalpot di luar.
"Re,
tidak ingin bercerita apa begitu?" Renata menengadahkan kepalanya,
menatapku malas.
"Pulang,
yuk!" Ajaknya. Aku memasukkan ponsel ke dalam tas. Kemudian kami berdiri,
ia langsung menuju pintu keluar sedangkan aku berdiri di antrean kasir sambil
memandang punggungnya di balik kaca, Renatta.
Di
boncengan motor Renatta lebih banyak diam, tidak seperti biasanya. Aku
berdehem.
"Mau
mampir rumahku dulu?" tanyaku sambil melihatnya melalui spion.
"Ibumu
ada di rumah?" tanyanya.
"Selalu
di rumah."
"Boleh."
Aku
menambah kecepatan laju motor maticku.
***
Aku
duduk di kursi teras belakang sambil melanjutkan pekerjaan yang ada di Laptop
abu-abu yang kubeli setahun lalu. Bersama Renatta. Waktu itu, setelah penjualan
buku pertamaku hingga naik cetak dua kali. Kuputuskan untuk mengistirahatkan
Laptop tua yang hampir berumur tujuh tahun itu dengan membeli yang baru. Renatta
muncul dari balik pintu membawa nampan berisi dua gelas cappuccino yang mengepulkan asap dan sepiring pisang goreng – meletakkannya
di meja – di hadapanku.
"Enak,"
pujiku setelah menelan satu gigitan pisang goreng. Renatta menjatuhkan tubuhnya
di kursi sebelah kiriku.
"Ibumu
yang buat."
"Oh."
Sepertinya,
ada yang tidak beres. Aku memilih melanjutkan pekerjaanku, biasanya Renatta
akan bercerita.
"Gas."
Tuh, kan. Kubilang apa, dia akan bercerita.
"Bagas!"
Ulangnya.
Aku
menjawab dengan gumaman.
"Apa
suatu saat kamu akan berubah?" Aku melirik sekilas, ia menatap ke depan.
"Semua
orang akan berubah, Rena." Aku mengangkat bahu. Apa Renatta mendengarkan
serius kalimat motivator tadi?
"Termasuk
kamu?" Dia menoleh kepadaku. Jariku berhenti memainkan keyboard. Aku menghirup napas dalam.
"Ayo
kita menikah." Kutatap matanya yang tak pernah mau menatap mataku. Matanya
membulat, kemudian mengerjab.
Bugh!
"Aduh!"
Dia memukul bahuku kencang dengan tumbler yang berada di atas meja, sakit.
"Aku
serius, Bagas!" Suaranya meninggi.
"Sejak
kapan aku tak pernah serius, Renatta Zahratussumayah?" Sejak dulu, aku tak
pernah menganggapnya sahabat. Aku hanya selalu menghargainya sebagai gadis
baik-baik yang selalu menjaga diri.
"Kamu
mau merusak persahabatan kita, pertemanan kita yang dari SMA?" ia
berkilat-kilat marah, suaranya pelan dan dalam. Lho, bukankah persahabatan antara laki-laki dan perempuan itu tak pernah ada? Renatta pernah mengatakannya, sekali.
"Kalau
begitu, ayo kita berhenti berteman. Kamu bisa jadi istriku." Kepalan
tangannya diatas pangkuan mengencang, buku-buku jarinya memutih. Ingin
kugenggam jemarinya, jika saja diijinkan. Dia menunduk, punggungnya naik turun
menahan amarah.
"Bagas!"
Bentaknya. Aku diam, menatapnya.
"Bagaimana
dengan project yang sedang kau
kerjakan?"
"Itu
bisa kukerjakan denganmu. Bukankah bagus ketika kamu memberi dukungan tanpa
terbayang-bayang dosa?"
"Apa
maksudmu?" tanyanya.
"Aku
tak pernah menjadikanmu sahabat ataupun teman. Kamu seseorang yang ingin
kujadikan tujuan."
Napasnya
memburu, matanya memerah, kali ini menatap mataku. Bibirnya terkatup rapat.
"Aku
mau." A...apa?! Aku masih menatapnya, alisku bertaut.
"Aku
menjawab iya, Bagas!" Bahuku melemas. Kuletakkan Laptop di meja yang
awalnya di pangkuanku.
"Kamu
serius?" tanyaku. Bagiku ini terlalu mimpi jika harus terjadi dalam
kehidupan nyata. Renatta berdiri.
"Antar
aku pulang, dan jangan temui aku sampai kamu datang ke rumahku dengan
Ibumu." Dia meninggalkanku di halaman belakang.
***
Hidup
memang kumpulan dari beberapa pilihan. Menerima atau menolak. Berjuang atau
menjadi pecundang. Tentang kepergian dan memilih datang. Memilih mengeluh atau
menjadi tangguh. Mendengar atau mengacuhkan. Peduli atau masa bodoh saja. Beberapa
hal kita tidak bisa mementingkan ego sendiri lalu masa bodoh dengan peristiwa
di luar, perasaan seseorang misalnya. Kita bisa memilih mengeluh ketika sosok
di belakang kita selalu menyemangati terlalu tangguh. Kupikir tak ada yang
memilih menjadi pecundang. Hanya saja, kadang perilaku kita tanpa sengaja telah
mengusahakan menuju titik bernama ketidakpedulian. Kita boleh saja melakukan
apa pun yang kita sukai, dan menurutku itu memang harus. Asal tetap ada usaha
juang untuk mencapai tujuan. Renatta menjadi salah satu tujuan dari banyak
perjalanan yang kurancang. Aku belajar banyak hal dari perempuan galak
berhidung mancung itu. Tentang kalimat yang baru saja kau baca, dan satu hal –
yang sampai sekarang selalu kuingat.
“Bagaimana
seseorang yang kau katakan bersalah akan memerbaiki kesalahannya, jika kamu tak
menyebutkan salahnya dimana. Bagaimana seseorang akan menjadi baik, jika kau
tak menyebutkan keinginanmu terhadapnya baik dalam hal apa. Semua harus
diperjelas.” Ucapnya suatu hari di ruang baca perpustakaan daerah. Dan masih
sering mengulangnya hingga sekarang, padahal aku masih ingat. Ah perempuan
memang begitu, selalu menganggap laki-laki tak bertindak jika belum ada
aba-aba. Bukankah tugasnya pemimpin adalah memberi aba-aba? Lalu siapa yang
pemimpin di sini? Meskipun Renatta selalu pemenang di hatiku, bukankah imam
yang selalu berhak memberi aba-aba? Ah sudah.
Aku
tersenyum memandang desktop wallpaper
yang menampilkan senyum Renatta. Wajah bulatnya terbingkai kerudung putih
berenda, menunduk memasangkan cincin pernikahan di jari manisku. Renatta pernah
protes ketika mengetahui foto dirinya yang kujadinya wallpaper, malu katanya. Aku ingin tertawa, toh komputerku tidak
pernah disentuh orang lain. Apa masalahnya?
- Di tempat makan yang es lemon tea-nya seger banget dekat kampus 19:56 WIB.
Komentar
Posting Komentar