Video Call Lebaran Kurban
Ada yang bersua ibu bapaknya, ada simpuh
harunya ditutup elusan tangan renta. Ada yang berbagi tawa bersama hidangan
khas daerahnya. Ada yang berkumpul bersama keluarga barunya, pengantin baru
barangkali. Atau anak kost baru pindahan sepertiku. hahah
Ada yang bergurau sambil mengolah kurban
di wajan yang hampir legam. Ada yang disempatkan mengejar waktu bertemu puan
dan tuannya. Ada yang rela mengabaikan lelah demi berdesakan mengatre tiket
penumpang menuju kampungnya. Rela berdiri berbekal lengan kokoh menggamit
pegangan di kereta atau di bus antar kota. Ada yang gigih membunuh rasa
bosannya menghirup asap knalpot di jalanan bersama kendaraan roda duanya. Seperti
biasa yang kulakukan, membunuh hampir 60 mill jarak yang berhasil menggunungkan
rindu dan tekad juangku. Kulindas aspal yang hampir mengelupas digilas roda.
Aku selalu ingin menangis jika
membayangkan setiap detik yang pernah kulewati menembusnya. Bagiku, bukan suatu
yang mudah menakhlukan beratus kelokan sendirian mencengkeram setir motor. Kadang
subuh aku sudah seperempat jalan, atau maghrib aku baru menembus hutan. Kadang aku
berhayal, andai saja ada yang memboncengku menempuh jarak sekian jam ini. Kadang
aku merasa lelah harus menuruni jalanan di tengah hutan yang kapan saja bisa
membuatku terpeleset ke semak-semak belukarnya. Aku selalu meringis memutar gas
motorku pelan sambil sesekali melirik jurang yang dihuni pohon-pohon besar di
kanan, kadang di sebelah kiri. Kakiku selalu kesemutan melihat jalan yang
langsung menjadi bibir jurang yang entah seberapa dalamnya. Sebenarnya ada
jalan lain yag tidak semengerikan ini, tapi, ah sudahlah, aku sedang tak ingin bercerita
tentang itu.
Sambil
tertawa kecil, aku menggumamkan kalimat di depan cermin, mengamati setiap gurat
air muka yang mereka kenali siapa diriku. Aku tidak ingin berbohong, aku tak
pernah menyesali segala risiko dari pilihan yang kuambil. Suatu saat, hari ini
dan sebelumnya, akan menjadi pendidik hebat untuk temanku berjuang lagi.
Aku kagum sama ibu, seberapa kukuh
pertahanan jiwanya, rela melepasku sendirian yang dulu selalu merengek manja
tak mau kesepian. Sudah jauh sebelum ini, bahkan bapak lebih dulu berani
mengantarku lima tahun yang lalu jauh dari kehangatan yang kuterima di rumah.
“Tidak apa-apa, buatlah gurumu sendiri yang akan mendidikmu
suatu hari nanti.” Begitu katanya. Bapak
selalu mengiming-imingiku bahwa pengalaman adalah guru yang tak tertandingi
kemampuannya mendidik siapapun yang jadi muridnya.
“Dia yang memiliki pengalaman belum
tentu mau menjadikannya guru dan memosisikan dirinya sebagai murid, Nduk.” Begitu imbuh ibu sambil memotong
kentang di meja dapur suatu hari. Bapak menyesap teh hangatnya sambil mengambil
potongan singkong goreng di atas piring. Aku teringat kalimat abangku dulu, aku
lupa tepatnya kapan. Waktu dia mau ijin melanjutkan sekolah ke perguruan
tinggi, waktu itu aku sudah hampir dua tahun menyandang sebagai siswa
berseragam biru putih.
“Aku lebih suka diwarisi ilmu daripada
harta, pak. Abang diterima di perguruan tinggi.” kudengar dari tempatku berdiri
– memasangkan bros berbentuk strawberry di bahu kananku di depan cermin. Begitu
katanya menyebutkan nama perguruan tinggi negeri di luar provinsi. Tidak jauh
sih, mungkin lebih sedikit ukuran mill yang kusebut di atas tadi. Aku tersenyum,
boleh juga ucapan abangku ini. Waktu itu aku belum terlalu paham apa itu
gejolak yang mendamba cita-cita terpenuhi, seperti yang kualami beberapa tahun
terakhir ini.
Bapak masih diam, tidak merespon
ungkapan abangku itu. Pasti bapak kaget, sudah kuduga juga, abang tidak memberitahu bapak sama ibu kalau mendaftar
kuliah. Abangku selalu begitu, mengejutkan. Aku meringis mengingat kelakuannya
yang tak berubah hingga sekarang.
Akhirnya aku mau diantar ke luar kota waktu itu, bersekolah di sekolah menengah atas
swasta pilihan abangku. Awalnya aku ingin sekolah di negeri saja, walaupun
nilai nem SMP ku tak bagus-bagus amat, SMA negeri di kabupaten kurasa masih
punya kursi untuk menampungku. Yasudahlah. Dua malam di kost-an baru sebagai
anak SMA yang labil kuisi dengan menangis sambil mempersiapkan perlengkapan MOS. Hahah, kekanakan sekali aku. Padahal
abangku tinggal tak jauh dari tempat
kost ku. Ya, abangku tak direstui kuliah di provinsi sebelah, bapak hanya
membuat satu pilihan. Disini, di kota yang memelukku dalam aneka rupa hiruk
pikuknya, suka dukanya, pilu dan bahagianya selama tiga tahun. Kami – aku dan
abang – tinggal di kota yang sama.
Dua tahun berikutnya, sekarang. Aku tak
lagi cengeng sendirian jadi anak baru di
kost an. Aku seperti sudah kehilangan nuansa adaptasi vibes anak baru. Baru atau pun lama, tak berpengaruh banyak bagiku.
Orientasi menuju betah sudah kualami jauh sebelumnya. Aku gampang betah
orangnya kalau sudah nyaman, eeh.
Sekarang aku mengerti maksud dari
kalimat abangku waktu itu. Tidak mudah memang, tapi masak mau bergelung dengan zona nyaman. Banyak cobaannya, banyak
ingin rebahnya, banyak ingin jalan-jalannya aja, banyak, banyak ingin santainya
saja. Kenikmatan justru menjadi ujian terberatku saat jauh dari orangtua. Karena
banyak merasa sulitnya barangkali yaa. Ah manja sekali …
Ingin kuteriakkan kencang di depan
telinga abangku, “Harusnya kau bilang kalau menjadi mengejutkan itu sesulit ini
bang!” tapi aku bukan dirimu, aku tidak betah berlama-lama menyimpan keinginan.
Aku terlalu lemah untuk berlayar sendirian tanpa doa-doa mereka. Aku juga tak
seambisius dirimu yang, yang nilai tematik saja aku jauh angkanya dari punyamu.
“Kamu juga anak gadis ibu yang pintar
dan cantik.” Itu kata ibu sambil tersenyum mencolek daguku ketika aku dulu
membandingkan, kenapa aku tidak sepintar abang. Aku sering kelelahan mencerna
materi-materi di kursi sekolah swasta itu dulu. Sepertinya aku mau jadi
sastrawati saja yang bebas berekspresi, pikirku waktu itu. Tapi sepertinya
Allah, memilihkanku jalan yang lain. Sekali lagi aku tak ingin berbohong, aku
juga tidak sekalipun menyesali yang satu ini. Seperti apapun likunya, menanjak
jauh atau menukik dalam. Suatu hari, ini akan menjadi guruku, kan. Seperti kata
bapak.
Liburan kali ini, 60 mill jarak kembali
melemparku jauh dari rumah. Aku meringis lagi, terlalu sadis kata yang kupilih.
Seakan perantauan ini tempat aku terasing. Tidak, kan. Buktinya aku tidak
kesepian disini. Tidak tergesa pulang juga. Kecuali ketika jalanan kembali
memintaku segera menghampiri. Udara dingin layaknya menarikku pulang lagi, aku
harus pulang, kan. Disana ada hangat yang tak terucap di kala dinding di hantam
dingin. Ada sejuk yang tak terjelaskan saat terik terhempas di genting tanah
liat. Lebaran begini, pasti di rumah tak akan sedetik pun aku merasa lapar.
Dan
ada yang rela menumpuk kembali rindu yang sudah membukit,
lantaran tak dapat pulang di hari raya. Selamat,
guru terbaik sedang mendidikmu lagi. Kuatlah bersama wajah di layar ponsel
yang mengatakan, "Anak gadis ibu sudah besar, yang sabar ya.. "
kenapa tidak secara gamblang saja Bu. Aku juga rindu meski mungkin tak
sebanding risaumu. Aku baik-baik saja di tempatku menuntut ilmu dari jerih pagi
hingga petangmu. Bahkan malam pun kau jadikan ladang mengais rejeki bersama
bapak.
Maafkan bu, lebaran kurban tahun ini aku
tak bisa memelukmu, lagi.
Setelah beberapa ratus hari, semoga
segera yang kau titipkan di dalam dada dan pundakku kubawa pulang lagi. Terima
kasih, ungkapan rindu dan sayangmu selalu kau utarakan dengan membanggakanku,
"anak gadis ibu sudah besar, anak gadis ibu sudah pintar, anak gadis ibu yang sabar ya, gadis manis
yang dulu dibuai gendongan sudah berani pergi sendirian,... "
Aku tahu ibu hanya membanggakan diriku
di depanku, bapak dan abangku saja. Meski tidak membedakan yang lain. Ibuku
tidak suka membicarakan keluaganya di depan teman-teman arisannya seperti
ibu-ibu yang lain. Ibuku tidak terlalu banyak berbicara, tapi lihai tangannya
mewakili semua kalimat yang ingin kami dengar. Barangkali doa dan harapnya juga
lebih berisik daripada gosip tetangga di pagi hari sambil menyomot sayur mayur.
Tersenyumlah bu, lebaran tahun depan,
dan berikutnya, akan kuusahakan membantumu mengolah daging kurban.
---
Happy Eid al-Adha 1440 Hijriah J,
Yang berkumpul bersama keluarga berbahagialah, salam
ya.
Siapa tahu skenario Allah membuat kita bersua suatu
saat,
tidak di dunia semoga di surga.
Yang belum berkesempatan berkumpul dengan keluarga,
tenanglah, Allah pasti mengirimkan keluarga di mana pun kamu berada.
taqobbalallohu
minna wa minkum.
Real fiction
yaa, hanya beberapa racikan pengalaman
saya dan orang lain yang dipaksa nyambung untuk ditambahkan.
Love.
Komentar
Posting Komentar